:: HUKUM NIKAH :: MENIKAH dgn PERBEZAAN AGAMA

Para ulama sepakat mengatakan haram hukumnya seorang muslimah menikah dengan

seorang lelaki non muslim. Hukum ini didasarkan kepada dalil-dalil sbb :

1. Ayat surah al-Mumtahanah : 10 :”Hai orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. ALlah lebih mengetahui tentang keimanan mereka: maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka (muslimah). Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

2. Ayat surah al-Baqarah : 221 : “Dan janganlah kamu meikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke sorga dan ampunan dengan izin-Nya.”

3. Meskipun ayat-ayat tersebut berbicara dalam konteks orang musyrik, namun karena alasan pelarangan yang cukup jelas, yaitu meraka akan mengajak ke naraka, maka ini menunjukkan berlaku pada semua non muslim.

4. Dalam pernikahan muslimah dengan non muslim, dikhawatirkan akan menyebabkan muslimah meninggalkan agamanya, atau paling tidak menyebabkannya tidak bisa mengamalkan agamanya, karena kebanyak pernikahan sarat dengan nilai agama, dan kecenderungan perempuan mengikuti suaminya.

Apakah seorang muslim boleh menikahi wanita non muslim?

perkahwinan

Dalam hukum Islam, wanita non muslim itu terbagi menjadi 4 golongan.

1. Wanita yang Musyrik (Musyrikah atau Animis /Paganis)

2. Wanita yang tak mengakui adanya tuhan atau Atheis (Mulhidah)

3. Wanita yang Murtad dari agama Islam (Murtaddah)

4. Wanita ahlu al kitab (beragama yahudi atau nasrani)

Dari keempat golongan wanita di atas, Islam menghalalkan pernikahan hanya bagi wanita Ahlu Kitab. Sedangkan wanita dari golongan selain Ahli Kitab maka Islam melarang menikahinya.

1. Musrikah. Yang dimaksud dengan musyrikah adalah penyembah berhala (animisme/paganisme). Hukum Islam melarang bagi seorang muslim untuk menikahi seorang muysrikah/animis/paganis. Hal itu diterangkan dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 221. Hikmah dari pengharaman tersebut sangatlah jelas, yaitu ketidakcocokan antara Islam dan animisme. Yang mana aqidah tauhid sangat mencela animisme dan kelompok animisme tidak mempunyai kitab samawi serta Nabi yang diutus oleh Tuhan. Hal ini sangat bertentangan sekali dengan ajaran-ajaran dasar agama Islam. Sebagaimana yang tertulis di ayat 221 yang terakhir surat albaqoroh sehingga apabila terjadi pernikahan antara seorang muslim dan musyrikah maka yang akan terjadi di dalam kehidupan berumah tangganya adalah pertengkaran dan pertengkaran.

2. Mulhidah, yang dimaksud dengan mulhidah adalah wanita yang tidak beragama dan tidak mengakui adanya Tuhan, kenabian, kitab suci dan akherat. Atau disebut atheis. Lelaki muslim diharamkan meni kahi wanita atheis. Ini karena wanita atheis kedudukannya lebih buruk dibanding wanita yang musrik, yang mana wanita musyrikah masih mengakui adanya tuhan, kenabian, kitab suci dan akherat. Tetapi mereka menduakan Tuhan di dalam penyembahan. Mereka (musyrikah) diharamkan menikahinya apalagi bagi wanita yang sama sekali tidak mengakui adanya tuhan. Maka pengharaman untuk menikahinya lebih diutamakan.

3. Murtaddah, yang dimaksud dengan murtad adalah individu yang menjadi kufur setelah iman, baik kekefurannya itu berupa perpindahan keyakinan atau agama, atau sama sekali tidak memeluk agama. Kemurtadan di dalam Islam memiliki hukum-hukum yang berkenaan dengan akherat (seperti yang tertera dalam al-Quran surat al-Baqoroh 217), dan hukum-hukum yang berkenaan dengan dunia. Seperti orang yang murtad tidak mendapat perlindungan dari masyarakat Islam, dan diharamkan adanya hubungan perkawinan antara seorang muslim dan murtaddah ataupun sebaliknya. Dan apabila terjadi perkawinan diantara keduanya maka pernikahannya tidak sah. Dan jika kemurtadan itu timbul setelah terjadinya perkawinan, maka suami dan istri tersebut harus dipisahkan dan hukum ini sudah disepakati oleh para ahli fiqh.

4. Ahli Kitab, jumhur ulama ahlussunnah menyatakan bahwa pernikahan seorang muslim dengan wanita Ahlu Kitab diperbolehkan/halal hukumnya. Yaitu berlandaskan al-Quran ayat 5 surat al-Maidah. Para ulama juga melihat bahwa ahlli kitab saat ini juga termasuk dalam ayat tersebut.

Penting untuk diketahui juga, pembolehan Islam terhadap pernikahan wanita Ahli Kitab didasari oleh dua perkara, yaitu :

1. Bahwa wanita Ahli Kitab memiliki kesatuan sumber agama dengan agama Islam, dan diapun (wanita ahli Kitab) beriman kepada Tuhan dan nabi-nabinya serta beriman pula akan adanya hari pembalasan dan akhirat.

2. Bahwa wanita Ahli Kitab yang dikawini oleh seorang muslim, maka dia akan hidup di bawah naungan suaminya yang muslim dan
tunduk terhadap undang-undang masyarakat Islam. Sehingga lama kelamaan wanita tersebut akan terpengaruh dengan ajaran-ajaran Islam. Dan sangat diharapkan agar wanita tersebut dapat memeluk Islam setelah sekian lama ia hidup di dalam masyarakat muslim.

11 thoughts on “:: HUKUM NIKAH :: MENIKAH dgn PERBEZAAN AGAMA

Add yours

  1. yang jelas, apakah masih ada ahlul kitab? ahlul kitab adalah pempraktis kitab yang sebenar. yakni zaman nabi musa a.s dan nabi isa a.s
    yahudi dan nasrani yg ada malah pake kitab yg sudah diubah2. malah kebanyakkan versi. apakah bisa di yakini sebagai ahlul kitab?

    Like

    1. Wallahu’alam bishowab.. Hanya Allah SWT Sang Maha Tahu, lagi Maha Bijaksana… karena tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah berkehendak… mudah²an masih ada.
      Sungguh kasih sayang Allah sangatlah luas… begitupun ilmu yang disebarluaskan… Dan kita hanya insan kerdil yang menyampaikan walau satu ayat..

      Like

  2. As’salamualaikum wr wb
    saya pria muslim ingin menikahi wanita nasrani, tp saya msh bingung karena dalam surat Al-Baqoroh 221 jelas melarang pernikahan trsebut. akan tetapi dalam surat Al-maidah ayat 5 diperbolehkan. disatu sisi saya jg menyampaikan pada pasangan saya bahwa saya tdk mau pacaran sambil menunggu waktu karena faktor usia dan posisi pasangan saya seorang janda yg taat agama(nasrani).. tlng bantu saya menari jalan terbaik tuk kami berdua… wasalam

    Like

    1. Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh….

      Baiklah… saya akan menjawab kedua2 ayat ini dengan rincian…

      “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah:221)

      Kata musyrikah atau musyrik dalam ayat di atas artinya seorang yang menyekutukan Allah. Imam Al Ashfahani membagi makna al syirk dua macam:
      (a) Al Syirkul adziim (syirik besar) yaitu menetapkan sekutu bagi Allah. Termasuk kategori ini makna firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (An-Nisa:48). Dalam ayat lain: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah tersesat sejauh-jauhnya”. (An-Nisa:116)

      (b) Al Syirkush Shaghiir (syirik kecil) yaitu mendahulukan selain Allah dalam tindakan tertentu, seperti riya’ (ingin dipuji orang), termasuk dalam kategori ini pengertian ayat: “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” (Yusuf:106), maksudnya mengutamakan kepentingan-kepentingan dunia di atas tujuan-tujuan akhirat (lihat Al Ashfahani, Mufradat alfaadzil Qur’an, h.452).

      Para ahli tafsir, dalam menjelaskan kata musyrik selalu mencontohkan dengan agama majusi (penyembah api) dan watsani (penyembah berhala). Ada juga sebagai mufassir yang mendefinisikan musyrik dengan “semua orang kafir yang tidak bergama Islam. Dengan pengertian ini maka umat Yahudi dan Nasrani tergolong musyrik. Dan ayat di atas dengan tegas melarang pernikahan seorang mukmin dengan wanita musyrikah begitu juga sebaliknya seorang mu’minah dengan lelaki musyrik. Mengapa? Karena batasan yang sangat fundamental yaitu perbedaan aqidah. Dari perbedaan aqidah ini akan lahir perbedaan tujuan dan pandangan hidup. Maka tidak mungkin seorang mukmin atau mu’minah yang benar-benar jujur dengan keimanannya rela mengorbankan aqidahnya demi kepentingan dunia. Imam Al Qurthubi menyetir ketetapan ijma’ul ummah bahwa seorang musyrik tidak boleh menikahi seorang mu’minah apapun alasan nya. Imam Asyaukani menyebutkan sebuah riwayat bahwa seorang sahabat bernama Murtsid bin Abi Murtsid pernah didatangi bekas orang yang pernah dicintainya dulu waktu di zaman jahiliyah. Wanita itu lalu minta untuk dizinahi. Murtsid segera menjawab: Wah, itu tidak mungkin, sebab saya sudah masuk Islam, dan Islam telah menjadi penghalang di antara kita. Lalu wanita itu minta agar dinikahi saja. Murtsid berkata: kalau begitu saya akan menemui Rasulullah dulu. Lalu turunlah ayat di atas. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadiir: vol.1, h.244). Dari sini jelas bahwa tidak mungkin seorang yang beriman menikah dengan seorang yang masih kafir. Maka jika ada seorang yang mengaku mu’min atau mu’minah, kemudian ia ternyata rela dan berani melakukan pernikahan dengan seorang yang musyrik atau musyrikah, itu berarti dalam keimanannya ada masalah. Sebab dengan terang-terangan ia telah berani melanggar ketentuan Allah seperti dalam ayat di atas.


      Menikahi Wanita Ahlul Kitab (Kitabiyah)

      Dalam ayat di atas, hanya disebutkan istilah musyrikah atau musyrik, tetapi belum disebutkan istilah ahlul kitab, sementara di tempat lain Al Qur’an menggunakan istilah ahlul kitab untuk umat Yahudi dan Nasrani. Allah berfirman: “(Kami turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: “Bahwa Kitab itu Hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami (yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani)” (Al-An’am:156). Pertanyaannya sekarang apakah ahlul kitab termasuk golongan musyrikiin? Menurut definisi di atas maka ahlul kitab termasuk kaum musyrikiin. Jika demikian bolehkah seorang mu’min menikahi wanita ahlul kitab?

      Mayoritas ulama (jumhur) membolehkan seorang mu’min menikah dengan wanita ahlul kitab (dari umat Yahudi atau Nasrani). Dan ini pendapat yang kuat (rajih). Bahkan ada sebagian yang mengatakan –seperti Imam Al Jashshash – tidak ada khilaf di dalamnya, kecuali Abdullah bin Umar yang memandangnya makruh (lihat Al Jashshash, Ahkamul Qur’an, vol. 2, h.324). Namun kendati demikian menikah dengan wanita muslimah tetap harus diutamakan. Sebab pada hakekatnya, di antara hikmah dibolehkannya adalah dalam rangka untuk mengislamkannya. Dan seorang suami mu’min sebagai kepala rumah tangga tentu sangat berperan dan menentukan dalam proses tersebut. Berbeda halnya jika sang istri muslimah dan suami non-muslim. Sang istri tentu sangat berat untuk mempengaruhi sang suami, bahkan bisa dipastikan sang istri akan kewalahan. Sebab tabiat seorang istri biasanya selalu ikut apa kata suami. Atas dasar ini mengapa seorang muslimah tidak boleh bersuamikan seorang ahlul kitab.

      Beberapa alasan yang menguatkan bolehnya seorang muslim beristrikan wanita ahlul kitab sebagai berikut:
      (a) Bahwa kata musyrikaat pada ayat di atas tidak termasuk ahlul kitab, dalilnya: Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu” (Al-Baqarah:105) Di sini nampak dibedakan antara orang-orang musyrik dengan ahlul kitab. Begitu juga dalam surat Al Bayyinah Allah berfirman: “Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. (Al-Bayyinah:1). Dikatakan bahwa wawu athf menunjukkan perbedaan (almughayarah). Dengan ini jelas bahwa ahlul kitab bukan orang-orang musyrik. Toh kalaupun dikatakan bahwa mereka tergolong musyrik, maka dengan ayat tersebut nampak adanya pengkhususan, seakan dikatakan: “Tidak boleh menikah dengan wanita musyrikah kecuali wanita ahlul kitab.

      (b) Allah berfirman: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi” (Al-Maidah:5). Ini menunjukkan bahwa menikah dengan wanita ahlul kitab hukumnya boleh.

      (c) Diriwayatkan bahwa Utsman bin Affan ra. menikah dengan Nailah Al Kalbiyah, wanita Yahudi, begitu juga Thalhah bin Ubaidillah ra. menikah dengan wanita Yahudi dari penduduk Syam. Itu pun tidak ada satupun riwayat yang mengatakan bahwa salah seorang sahabat menentang pernikahan tersebut. Dari sini nampak bahwa mereka bersepakat atas bolehnya menikah dengan wanita ahlul kitab.

      Walhasil, bahwa sekalipun pernikahan dengan wanita ahlul kitab hukumnya boleh, namun lebih utama seorang muslim tidak melakukannya. Salah seorang alim besar dalam Madzhab Hanafi, Kamal bin Hammam berkata: Memang boleh menikah dengan wanita ahlul kitab, tetapi lebih baiknya seorang muslim tidak melakukannya, kecuali dalam kondisi darurat” (lihat Al kamal bin Hammam, Fathul Qadiir, Syarhul Hidayah fii fqhil hanafiyah, vol.2, h.372). Pesan Kamal bin Hammam ini ternyata ada dasarnya: diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah menyuruh sahabatnya Hudzaifah untuk menceraikan istrinya yang tergolong kaum Yahudi. Hudzaifah bertanya: Apakah kamu melihat bahwa pernikahan seperti ini hukumnya haram? Umar menjawab: Tidak, tetapi saya takut hal ini kelak menjadi contoh yang diikuti banyak orang. Umar benar dalam sikapnya ini, sebab jika kemudian pernikahan seperti tersebut, benar-benar menjadi fenomena umum, bagaimana nantinya nasib wanita-wanita muslimah? Dan perlu diingat bahwa diantara hikmah dibolehkannya menikah dengan kitabiyah adalah supaya wanita kitabiyah itu masuk ke pangkuan Islam melalui pernikahan. Jika diperkirakan itu tidak mungkin terjadi, para ulama memakruhkan. Oleh sebab itu ada kondisi di mana seorang muslim dimakruhkan menikah dengan kitabiyah: Pertama, wanita tersebut harbiyah (mempunyai jiwa menyerang, tidak mungkin dipengaruhi dan bahkan mungkin akan menyebabkan hancurnya moral anak-anak yang dilahirkan, serta tidak mustahil ia akan mempengaruhi sang suami) (lihat, Ibid, vol.2. h. 372). Kedua, adanya wanita muslimah yang bisa dinikahi. Imam Ibn Taymiah mengatakan: “Makruh hukumnya menikah dengan wanita kitabiyah sementara di saat yang sama masih ada wanita-wanita muslimah”(lihat, alikhtiyaraat alfiqhiyah min fatawa syaikhil Islam Ibn Taymiah, h. 217).

      Menikah Dengan Laki-laki Ahlul Kitab
      Ayat di atas menegaskan: dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Dalam konteks ini tidak ditemukan ayat lain yang mengkhususkannya, seperti ayat mengenai menikah dengan wanita kitabiyah. Artinya tidak ada keterangan lain mengenai hukum boleh-tidaknya menikah dengan laki-laki ahlul kitab, kecuali ayat di atas. Bila disebutkan bahwa ahlul kitab tergolong orang-orang musyrik, maka berdasarkan ayat di atas tidak boleh seorang muslimah menikah dengan laki-laki musyrik. Berbeda jika wanitanya ahlul kitab dan calon suamimya muslim, itu dibolehkan karena adanya ayat lain yang menegaskan bolehnya sebagaimana telah diterangkan tadi.

      Jelasnya, bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh dalam kondisi apapun menikah dengan seorang yang musyrik, termasuk laki-laki Yahudi dan Nasrani, karena al Qur’an telah menyebutkan bahwa mereka tergolong kafir. Allah berfirman: “Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. (QS. 98:1). Lebih dari itu mereka juga akan selalu mempengaruhi istrinya agar menjadi kafir, yang dengannya ia bisa masuk neraka, Allah berfirman pada ayat di atas: mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya”.

      Kerena itulah Allah menekankan dengan sangat tegas bahwa menikah dengan seorang mukmin tetap lebih utama, sekalipun ia seorang budak: walaamatun mu’minatun khairun min musyrikatin walau a’jabatkum (Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu). Lalu dipertegas lagi pada ayat berikutnya: wala ‘abdun mu’minun khairun min musyrikin walau a’jabakum (Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu). Perhatikan, penegasan ini tidak mengandung penfsiran lain keculai bahwa yang harus diutamakan dalam pernikahan adalah kesamaan akidah. Sebab dari kesamaan akidah akan mudah menentukan kesamaan tujuan sekaligus kesamaan cara hidup. Dan hanya dengan ini kelak upaya untuk saling membantu dalam mentaati Allah (at ta’aawun bil birri wat taqwa) akan lebih tercipta, di mana dari sini kebahagiaan hakiki akan dicapai, tidak saja di dunia melainkan juga di akhirat. Wallhu a’lam bish shawab.

      Alhamdulillah, yang menjadi landasan dalam masalah ini adalah firman Allah l dalam surat al-Ma’idah ayat 5:

      “Pada hari ini dihalalkan bagi kalian perkara-perkara yang baik dan sembelihan Ahlul Kitab halal bagi kalian serta sembelihan kalian halal bagi mereka. Begitu pula al-muhshanat (wanita merdeka yang menjaga kehormatan) dari kaum mukminat dan al-muhshanat dari Ahlul Kitab sebelum kalian (halal bagi kalian) jika kalian memberikan maharnya (dengan pernikahan).”

      Para ulama berselisih pendapat tentang penafsiran Ahlul Kitab dalam ayat ini:
      1. Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahlul Kitab yang dimaksud dalam ayat ini adalah khusus Bani Israil.
      Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Imam asy-Syafi’i t, sebagaimana dinukilkan oleh al-Baihaqi t dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar (5/309). Beliau berkata, “Siapa pun yang berasal dari Bani Israil yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani maka wanitanya boleh dinikahi dan sembelihannya boleh dimakan. Sedangkan siapa pun yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani dari kalangan Bangsa Arab atau selainnya (dari kalangan ajam) maka wanitanya tidak boleh dinikahi dan sembelihannya tidak halal untuk dimakan.” (lihat Jami’ Ahkamin Nisa, 3/125)

      2. Sebagian ulama yang lain mensyaratkan bahwa Kitabiyah (wanita yang beragama Yahudi atau Nasrani) yang halal untuk dinikahi adalah Kitabiyah yang berpegang teguh dengan agamanya yang murni sebelum mengalami perubahan, yang dia mentauhidkan Allah l dan tidak berbuat syirik.
      Dia hanya mengikuti ajaran Nabi Musa bila dia Yahudiyah (beragama Yahudi) atau ajaran Nabi ‘Isa bila dia Nashraniyah (beragama Nasrani).
      Para ulama yang berpendapat seperti ini, ingin menggabungkan ayat ini dengan ayat ke-221 dari Surat al-Baqarah:

      “Dan janganlah menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman.” (al-Baqarah: 221)
      Mereka mengatakan bahwa jika seorang wanita mempersekutukan Allah l maka dia haram untuk dinikahi, meskipun dia Yahudi atau Nasrani. Adapun bila dia mentauhidkan Allah l meskipun dia tidak beriman kepada Al-Qur’an dan Nabi Muhammad n maka dia halal untuk dinikahi. (asy-Syarhul Mumti’, 5/218, terbitan Darul Atsar)

      3. Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa ayat ini umum mencakup siapa saja yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani, baik dari kalangan Bani Israil maupun yang lainnya, baik dia mengikuti agama Yahudi atau Nasrani yang murni dan mentauhidkan Allah l, maupun mengikuti yang sudah mengalami perubahan dan mempersekutukan Allah l. Semuanya termasuk dalam kategori Ahlul Kitab tanpa pengecualian.
      Pendapat ini dirajihkan (dikuatkan) oleh asy-Syaukani t dalam Fathul Qadir (2/15), asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di t dalam Taisirul Karimir Rahman (hlm. 221—222), dan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t dalam asy-Syarhul Mumti’ (5/218).

      Pendapat ini yang rajih (kuat) insya Allah, dengan dalil-dalil berikut.
      a. Ayat ini bersifat umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya untuk Bani Israil, sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaukani.
      b. Ayat ini merupakan takhshish (pengkhususan) dari ayat al-Baqarah:
      karena Allah l menghalalkan wanita Ahlul Kitab dalam ayat ini dan di sisi lain Allah l juga menerangkan tentang kesyirikan serta kekufuran mereka sebagaimana dalam surat al-Ma’idah ayat 72—73, dan surat at-Taubah ayat 30 ketika Nashara mengatakan bahwa Nabi ‘Isa adalah anak Allah l dan tuhan mereka, sedangkan Yahudi mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah l. (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
      c. Dalam hadits Abu Sufyan z yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah n mengirim surat kepada Hiraql (Heraklius), pembesar Rum (Romawi), untuk mengajak dia dan kaumnya agar memeluk Islam dengan ayat ke-64 dari surat Ali ‘Imran. Jadi, Rasulullah n menggolongkan Hiraql dan kaumnya sebagai Ahlul Kitab, padahal dia dan kaumnya bukanlah dari Bani Israil dan mereka memeluk agama Nasrani setelah mengalami perubahan. (Fathul Bari, 1/38—39)

      Kemudian para ulama juga berbeda pendapat dalam menafsirkan al-muhshanat dalam ayat di atas.
      1. Yang dimaksud adalah afifah (yang menjaga diri dari perbuatan zina), maka tidak boleh menikahi wanita-wanita fajir yang tidak menjaga diri dari perzinaan. Jadi masuk di dalamnya seluruh Ahlul Kitab baik merdeka maupun budak, asalkan dia afifah. Ibnu Jarir t menukilkan pendapat ini dari beberapa ulama Salaf (lihat Fathul Qadir).
      2. Yang dimaksud adalah wanita-wanita merdeka (bukan budak). Ini adalah pendapat jumhur, sebagaimana disebutkan dalam Fathul Qadir dan dirajihkan oleh asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t. Mereka berdalilkan dengan firman Allah l dalam surat an-Nisa’ ayat 25:

      “Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) tidak memiliki kesanggupan harta untuk menikahi wanita merdeka yang beriman maka boleh bagi kalian untuk menikahi budak-budak wanita yang beriman di antara kalian.”

      Sisi pendalilannya adalah ketika Allah l mengizinkan seorang lelaki merdeka untuk menikahi budak wanita dengan dua syarat, yaitu dia tidak memiliki kesanggupan materi untuk menikahi wanita merdeka sementara dia takut terjatuh dalam perzinaan, dan ia merasa berat untuk bersabar atas jima’ (hubungan suami istri) sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat. Maka Allah l membatasinya dengan budak wanita yang beriman. Ini berarti budak wanita dari kalangan Ahlul Kitab tidak boleh dinikahi karena mereka tidak beriman. Jumhur ulama juga mensyaratkan sifat iffah (menjaga kehormatan) berdasarkan firman Allah l:

      “Lelaki pezina tidak akan menikahi kecuali wanita pezina atau wanita musyrik dan wanita pezina tidak akan dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik; dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (an-Nur: 3)

      Pendapat ini dirajihkan oleh as-Sa’di dan al-Utsaimin, dan inilah yang rajih, wallahu a’lam.
      Asy-Syaikh Muqbil t dalam kitabnya Ijabatus Sa’il (hlm. 614—615) menegaskan bahwasanya wanita Ahlul Kitab yang dinikahi oleh seorang muslim tidak dituntut untuk mempelajari syariat Islam, karena dia masih kafir.

      Akan tetapi, yang dituntut darinya adalah senantiasa memiliki iffah. Dinasihatkan bagi sang suami untuk mendakwahkan Islam kepada istrinya, karena seorang suami memiliki pengaruh besar terhadap istri. Jika seorang istri telanjur mencintai suaminya, biasanya dia akan mengikuti kemauan suaminya.

      Begitu pula, asy-Syaikh Muqbil t menasihatkan dalam Ijabatus Sa’il (hlm. 531), bahwasanya seorang muslim harus berhati-hati jika hendak menikahi Yahudiyah atau Nashraniyah. Terlebih jika di negeri tersebut, Yahudi atau Nasrani lebih berpengaruh, dikhawatirkan istrinya akan memengaruhi anak-anaknya untuk memeluk agama Yahudi atau Nasrani.

      Saya (penulis) tambahkan: Atau bahkan dirinya yang dipengaruhi oleh istrinya karena lemahnya iman dan ilmu yang dimilikinya.

      Catatan: Hukum ini tidak berlaku sebaliknya. Wanita muslimah yang menikah dengan pria kafir hukumnya telah jelas, yakni haram.

      Like

  3. assalamualikum..

    saya lelaki muslim…
    sedang dalam hubungan dengan seorang wanita kristian…adakah pasangan saya ini di kira ahlul kitab dan halal bagi saya untuk bernikah…mohon jasa baik….

    Like

    1. Waalaikumsalam….
      Alhamdulillah, yang menjadi landasan dalam masalah ini adalah firman Allah SWT dalam surat al-Ma’idah ayat 5:

      “Pada hari ini dihalalkan bagi kalian perkara-perkara yang baik dan sembelihan Ahlul Kitab halal bagi kalian serta sembelihan kalian halal bagi mereka. Begitu pula al-muhshanat (wanita merdeka yang menjaga kehormatan) dari kaum mukminat dan al-muhshanat dari Ahlul Kitab sebelum kalian (halal bagi kalian) jika kalian memberikan maharnya (dengan pernikahan).”

      Para ulama berselisih pendapat tentang penafsiran Ahlul Kitab dalam ayat ini:

      1. Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahlul Kitab yang dimaksud dalam ayat ini adalah khusus Bani Israil.

      Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Imam asy-Syafi’i t, sebagaimana dinukilkan oleh al-Baihaqi t dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar (5/309). Beliau berkata, “Siapa pun yang berasal dari Bani Israil yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani maka wanitanya boleh dinikahi dan sembelihannya boleh dimakan. Sedangkan siapa pun yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani dari kalangan Bangsa Arab atau selainnya (dari kalangan ajam) maka wanitanya tidak boleh dinikahi dan sembelihannya tidak halal untuk dimakan.” (lihat Jami’ Ahkamin Nisa, 3/125)

      2. Sebagian ulama yang lain mensyaratkan bahwa Kitabiyah (wanita yang beragama Yahudi atau Nasrani) yang halal untuk dinikahi adalah Kitabiyah yang berpegang teguh dengan agamanya yang murni sebelum mengalami perubahan, yang dia mentauhidkan Allah dan tidak berbuat syirik.

      Dia hanya mengikuti ajaran Nabi Musa bila dia Yahudiyah (beragama Yahudi) atau ajaran Nabi ‘Isa bila dia Nashraniyah (beragama Nasrani).

      Para ulama yang berpendapat seperti ini, ingin menggabungkan ayat ini dengan ayat ke-221 dari Surat al-Baqarah:

      “Dan janganlah menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman.” (al-Baqarah: 221)

      Mereka mengatakan bahwa jika seorang wanita mempersekutukan Allah maka dia haram untuk dinikahi, meskipun dia Yahudi atau Nasrani. Adapun bila dia mentauhidkan Allah meskipun dia tidak beriman kepada Al-Qur’an dan Nabi Muhammad n maka dia halal untuk dinikahi. (asy-Syarhul Mumti’, 5/218, terbitan Darul Atsar)

      3. Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa ayat ini umum mencakup siapa saja yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani, baik dari kalangan Bani Israil maupun yang lainnya, baik dia mengikuti agama Yahudi atau Nasrani yang murni dan mentauhidkan Allah, maupun mengikuti yang sudah mengalami perubahan dan mempersekutukan Allah. Semuanya termasuk dalam kategori Ahlul Kitab tanpa pengecualian.

      Pendapat ini dirajihkan (dikuatkan) oleh asy-Syaukani t dalam Fathul Qadir (2/15), asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di t dalam Taisirul Karimir Rahman (hlm. 221—222), dan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t dalam asy-Syarhul Mumti’ (5/218).
      Pendapat ini yang rajih (kuat) insya Allah, dengan dalil-dalil berikut.
      • Ayat ini bersifat umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya untuk Bani Israil, sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaukani.
      • Ayat ini merupakan takhshish (pengkhususan) dari ayat al-Baqarah:
      • karena Allah menghalalkan wanita Ahlul Kitab dalam ayat ini dan di sisi lain Allah juga menerangkan tentang kesyirikan serta kekufuran mereka sebagaimana dalam surat al-Ma’idah ayat 72—73, dan surat at-Taubah ayat 30 ketika Nashara mengatakan bahwa Nabi ‘Isa adalah anak Allah dan tuhan mereka, sedangkan Yahudi mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah. (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
      • Dalam hadits Abu Sufyan z yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah mengirim surat kepada Hiraql (Heraklius), pembesar Rum (Romawi), untuk mengajak dia dan kaumnya agar memeluk Islam dengan ayat ke-64 dari surat Ali ‘Imran. Jadi, Rasulullah n menggolongkan Hiraql dan kaumnya sebagai Ahlul Kitab, padahal dia dan kaumnya bukanlah dari Bani Israil dan mereka memeluk agama Nasrani setelah mengalami perubahan. (Fathul Bari, 1/38—39)
      Kemudian para ulama juga berbeda pendapat dalam menafsirkan al-muhshanat dalam ayat di atas.

      1. Yang dimaksud adalah afifah (yang menjaga diri dari perbuatan zina), maka tidak boleh menikahi wanita-wanita fajir yang tidak menjaga diri dari perzinaan. Jadi masuk di dalamnya seluruh Ahlul Kitab baik merdeka maupun budak, asalkan dia afifah. Ibnu Jarir t menukilkan pendapat ini dari beberapa ulama Salaf (lihat Fathul Qadir).

      2. Yang dimaksud adalah wanita-wanita merdeka (bukan budak). Ini adalah pendapat jumhur, sebagaimana disebutkan dalam Fathul Qadir dan dirajihkan oleh asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t. Mereka berdalilkan dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 25:

      “Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) tidak memiliki kesanggupan harta untuk menikahi wanita merdeka yang beriman maka boleh bagi kalian untuk menikahi budak-budak wanita yang beriman di antara kalian.”

      Sisi pendalilannya adalah ketika Allah mengizinkan seorang lelaki merdeka untuk menikahi budak wanita dengan dua syarat, yaitu dia tidak memiliki kesanggupan materi untuk menikahi wanita merdeka sementara dia takut terjatuh dalam perzinaan, dan ia merasa berat untuk bersabar atas jima’ (hubungan suami istri) sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat. Maka Allah membatasinya dengan budak wanita yang beriman. Ini berarti budak wanita dari kalangan Ahlul Kitab tidak boleh dinikahi karena mereka tidak beriman. Jumhur ulama juga mensyaratkan sifat iffah (menjaga kehormatan) berdasarkan firman Allah :

      “Lelaki pezina tidak akan menikahi kecuali wanita pezina atau wanita musyrik dan wanita pezina tidak akan dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik; dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (an-Nur: 3)

      Pendapat ini dirajihkan oleh as-Sa’di dan al-Utsaimin, dan inilah yang rajih, wallahu a’lam.

      Asy-Syaikh Muqbil t dalam kitabnya Ijabatus Sa’il (hlm. 614—615) menegaskan bahwasanya wanita Ahlul Kitab yang dinikahi oleh seorang muslim tidak dituntut untuk mempelajari syariat Islam, karena dia masih kafir.

      Akan tetapi, yang dituntut darinya adalah senantiasa memiliki iffah. Dinasihatkan bagi sang suami untuk mendakwahkan Islam kepada istrinya, karena seorang suami memiliki pengaruh besar terhadap istri. Jika seorang istri telanjur mencintai suaminya, biasanya dia akan mengikuti kemauan suaminya.

      Begitu pula, asy-Syaikh Muqbil menasihatkan dalam Ijabatus Sa’il (hlm. 531), bahwasanya seorang muslim harus berhati-hati jika hendak menikahi Yahudiyah atau Nashraniyah. Terlebih jika di negeri tersebut, Yahudi atau Nasrani lebih berpengaruh, dikhawatirkan istrinya akan memengaruhi anak-anaknya untuk memeluk agama Yahudi atau Nasrani.

      Saya tambahkan: Atau bahkan dirinya yang dipengaruhi oleh istrinya karena lemahnya iman dan ilmu yang dimilikinya.

      Catatan: Hukum ini tidak berlaku sebaliknya. Wanita muslimah yang menikah dengan pria kafir hukumnya telah jelas, yakni haram

      Like

  4. m’f saya wanita muslim,
    saya b’pacaran dgn laki2 non muslim,tp kami pnya k’inginan utk menikah,
    saya telah mnyruh dia masuk islam,
    yg ingin saya tnyakan,apa boleh kami menikah setelah dia masuk islam???

    Like

    1. salam…

      untuk menghalalkan hubungan anda, jawaban saya ialah menikah.
      oleh kerana pasangan anda non-muslim, memang harus memeluk agama islam terlebih dahulu sebelum menikah. tetapi, adakah anda sebagai seorang muslimah, bersedia mengajarkan pasangan anda sebaiknya tentang islam?

      Like

  5. Assalamualaikum…

    Sebagai menjawab pertanyaan ini saya ingin sekali menekankan bahawa saya bukanlah seorang penetap hukum ya Adi…

    Semua yang saya tuliskan diatas ada dalil dan nasnya… maka Adi harus faham benar tentang ini. Begitu juga utk mencari tahu apakah benar pacar kamu itu tergolong dalam golongan wanita AHLUL KITAB seperti yang sudah saya jelaskan diatas.

    Wanita Nasaroh/nasrani yang ahlul kitab memang tidak haram dinikahi oleh orang yang beragama muslim. Ini sesuai sekali dengan firman Allah SWT :-

    “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan), Ahli kitab itu HALAL bagimu dan makananmu HALAL bagi mereka. Dan (diHALALkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apbl kamu membayar mas kahwin mereka utk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan peliharaan. barang siapa kafir setelah beriman maka sungguh, sia-sia amal mereka dan diakhirat dia termasuk orang-orang yang rugi” al-maidah ayat : 5

    Allah menyebut HALAL dalam ayat ini lebih dari sekali. Begitu tegas. Maka untuk pertanyaan MUNGKINKAH?, Insyaallah sudah terjawab disini.

    Mudah2an bermanfaat… Amin…

    Like

  6. Sya seorg cow muslim,pcar sya seorg nasrani…Menikahi seorg nasrani tdakah haram? Tpi dri artikel diatas di tulis tdaklah haram asalkn ahlul kitab,MgknkH? Tlglh dijelaskn?

    Like

Jom Komen...

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑

.:: Love Is Cinta ::.

.:: Karena Cinta Kita Selalu Ada ::.

Manusia Jalang

Karyaku adalah aku. Aku adalah karyaku.

Life Photographie

Capturing still moment

ephyria

my life my world

My Pain, My Life, My Struggles, My Fight

Come walk with me, Down My Dark & Stormy Journey BUSINESS INQUIRIES & CONTACT EMAIL : GODSCHILD4048@GMAIL.COM

Dunia Penyair ~ Himpunan Puisi Klasik Dan Moden Sepanjang Zaman

~ Koleksi Puisi Klasik Dan Moden Yang Segar Sepanjang Zaman ~

dapurizzi.wordpress.com/

~ Freshly Homemade Food ~

IZZI BAKERY

The Greatest Homemade Products

.::Ketika CINTA Bertasbih::.

.... saat beralun qasidah KASIH....

YOEDA BIKE

Bengkel Sepeda Gowes

Bengkel Sepeda Gowes

- SEPEDA GOWES -

PUISI SURGA

Sekadar Merekam Suara Hati

yuliartivk

Smile! You’re at the best WordPress.com site ever

ISLAM SYIAH

Meluruskan Pemahaman Tentang Islam Syi'ah Imamiyah Itsna 'Asyariyah (Jakfariyah)

alangalangkumitir

Javanese Manuscripts

Lazione Budy

'Saoirse' is not a word, it's angel